Kamis, 09 April 2009

Membaca Puisi Lebih Sulit daripada Belajar Matematika?

Membaca Puisi
Lebih Sulit daripada
Belajar Matematika?




Bila kita cari makna kata ‘matematika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka

akan kita temukan pengertiannya yakni ‘ilmu tentang bilangan-bilangan’. Bilangan

inilah yang memberikan warna mencolok terhadap matematika. Tak bisa disangkal

lagi, ilmu yang berkutat pada angka-angka itu telah terpatri pada benak banyak

orang, merupakan ilmu yang paling sulit dipelajari.

Anggapan di atas rasanya telah terwariskan secara turun-temurun. Implementasi

sikap yaitu dengan memberikan predikat manusia hebat kepada seseorang yang

berkompeten di bidang ini, tambah menguatkan anggapan tersebut. Julukan

manusia pandai atau cerdas adalah manusia yang mampu menaklukkan soal-soal

matematika, masih dianut oleh sebagian besar masyarakat kita. Uraian tersebut

mengisyaratkan bahwa matematika adalah disiplin ilmu yang pelik dan rumit untuk

dicerna, masih diakui oleh banyak orang.

Selanjutnya, sebagai penambah cakrawala pembanding, alangkah baiknya bila

pembaca mengenal dulu penulis di dapurnya. Penulis adalah seorang pengajar dan

pendidik yang telah malang melintang di dunia pembelajaran selama 16 tahun.

Bahasa dan Sastra Indonesia adalah bidang studi yang penulis ajarkan kepada siswa.

Satuan pendidikan Sekolah Menengah Atas, tempat penulis membelajarkan para

siswa. Sebagai bahan renungan, di bawah ini akan dipaparkan pengalaman penulis

dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dengan menyinggung anggapan

publik terhadap matematika sebagai perbandingan.

Sesuai dengan tajuk mata pelajaran yang baru saja disebutkan yaitu Bahasa dan

Sastra Indonesia, maka disiplin ilmu ini terbagai ke dalam ilmu Bahasa Indonesia dan

ilmu Sastra Indonesia. Realisasi dalam pembelajaran baik bahasa maupun sastra

Indonesia diwujudkan dalam bentuk tujuan pembelajaran. Secara spesifik, tujuan

tersebut mengarah kepada keterampilan berbahasa yaitu: berbicara, menyimak,

membaca, dan menulis.

Perwujudan aktivitas dalam pembelajaran Sastra Indonesia dengan kompetensi

membaca, salah satunya melalui membaca puisi. Bagi siswa itu sendiri serta bagi

guru pengajar, mengumandangkan puisi seharusnya bukan hal asing atau sesuatu

yang baru dikenal. Bila kita merujuk kepada panduan pembelajaran yaitu kurikulum,

materi puisi telah tertera sejak kurikulum SD, SMP, hingga SMA. Dengan demikian,

seharusnya para pelajar dan para pengajar sudah akrab dengan membaca puisi dan

mengapresiasinya.

Kenyataan di lapangan berbicara berbeda. Setiap penulis menginformasikan bahwa

pembelajaran yang akan berlangsung yaitu dengan membaca puisi, selalu disambut

oleh siswa dengan reaksi nada kaget dan takut. Gugup berlebihan juga kadang

terpancar dari wajah mereka. Dengan mengawali pembacaan puisi oleh guru, strategi

yang biasanya penulis terapkan untuk mengendurkan ketegangan tersebut. Setelah

itu, bujuk rayu ekstra yang dibutuhkan untuk bisa sekadar menampilkan satu dua

orang siswa membaca puisi.

Menanggapi peristiwa ganjil sekaligus menggelikan (prihatin), penulis sempat

menanyakan kepada siswa akan sebab-sebab hal itu terjadi. Beberapa siswa

menjawab bahwa mereka sendiri tak mengetahui persis sebabnya. Diantara mereka

ada yang mengungkapkan bahwa membaca puisi itu lebih sulit dari belajar

matematika (mudah-mudahan cuma seloroh belaka). Jadi, alasan mereka enggan

membaca puisi karena membaca puisi itu merupakan pekerjaan yang sangat sulit.

Bila membaca puisi dianggap sebagai pekerjaan yang tidak mudah, lalu apa sih

sebenarnya puisi itu? Dunton lewat Pradopo (6 : 2005) berpendapat bahwa puisi

merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional

serta berirama. Senada dengan pendapat Dunton, Pradopo memberikan pengertian

bahwa puisi merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang

penting, digubah dalam bentuk yang paling berkesan (7 : 2005).

Lalu, adakah keterkaitan antara anggapan sulit dalam membaca puisi dengan hakikat

puisi itu sendiri? Bila kita merujuk kepada kedua definisi di atas, ternyata puisi

merupakan wujud pemikiran dan pengalaman manusia yang disuguhkan dengan

bahasa yang indah. Mungkinkah kesulitan yang muncul terletak pada perbedaan

arah pemikiran antara penulis puisi dan pembaca? Atau barangkali perbedaan itu

terletak pada pemahaman terhadap untaian kata-kata indah dalam puisi?

Keraguan pembaca terhadap penafsiran makna puisi yang akan dibaca, bisa jadi

menghambat kepercayaan diri untuk bisa menyuguhkan performance yang

seharusnya. Atau, bila menemukan diksi yang tak dapat dijangkau oleh pemahaman,

hal itu juga sepertinya akan berpengaruh terhadap kesiapan seseorang untuk

mengumandangkan puisi. Semua pembaca puisi sepertinya mengetahui bahwa

berpuisi asal bunyi atau asal bersuara akan menghilangkan cita rasa puisi itu sendiri.

Dengan kata lain, membaca puisi senantiasa harus berusaha menangkap dan

menyampaikan pesan yang terlebur dalam bait-bait itu.

Sepertinya itulah dilema yang selalu bergelayut pada pembelajaran apresiasi puisi

khususnya pada tampilan membacanya. Meskipun tidak menutup kemungkinan

bahwa faktor kurang akrab, kurang bersahabat, dan kurang dekat dengan puisi, juga

bisa menjadi faktor pemicu keengganan tadi. Yang pasti, apa pun faktor yang dinilai

sebagai aral, harus dijadikan sebagai bahan pemikiran bersama untuk dicarikan jalan

keluarnya.

Individu yang paling berpengaruh dalam menyikapi kenyataan yang terurai di atas,

tentunya para guru pengajar Sastra Indonesia. Sangat disayangkan bila menghadapi

dilema tersebut disambut dengan antipati. Bila guru sastra tidak berupaya

memperbaiki keadaan, maka tinggal menunggu, siswa akan menganggap barang

aneh terhadap membaca puisi. Jadi, penulis berharap kepada rekan-rekan pengajar

sastra, jangan pernah menyerah menghadapi kenyataan ini. Terus mencoba dan

mencoba lagi untuk mengikis pandangan siswa terhadap membaca puisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar