Membaca Puisi
Lebih Sulit daripada
Belajar Matematika?
Lebih Sulit daripada
Belajar Matematika?
Bila kita cari makna kata ‘matematika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka
akan kita temukan pengertiannya yakni ‘ilmu tentang bilangan-bilangan’. Bilangan
inilah yang memberikan warna mencolok terhadap matematika. Tak bisa disangkal
lagi, ilmu yang berkutat pada angka-angka itu telah terpatri pada benak banyak
orang, merupakan ilmu yang paling sulit dipelajari.
Anggapan di atas rasanya telah terwariskan secara turun-temurun. Implementasi
sikap yaitu dengan memberikan predikat manusia hebat kepada seseorang yang
berkompeten di bidang ini, tambah menguatkan anggapan tersebut. Julukan
manusia pandai atau cerdas adalah manusia yang mampu menaklukkan soal-soal
matematika, masih dianut oleh sebagian besar masyarakat kita. Uraian tersebut
mengisyaratkan bahwa matematika adalah disiplin ilmu yang pelik dan rumit untuk
dicerna, masih diakui oleh banyak orang.
Selanjutnya, sebagai penambah cakrawala pembanding, alangkah baiknya bila
pembaca mengenal dulu penulis di dapurnya. Penulis adalah seorang pengajar dan
pendidik yang telah malang melintang di dunia pembelajaran selama 16 tahun.
Bahasa dan Sastra Indonesia adalah bidang studi yang penulis ajarkan kepada siswa.
Satuan pendidikan Sekolah Menengah Atas, tempat penulis membelajarkan para
siswa. Sebagai bahan renungan, di bawah ini akan dipaparkan pengalaman penulis
dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dengan menyinggung anggapan
publik terhadap matematika sebagai perbandingan.
Sesuai dengan tajuk mata pelajaran yang baru saja disebutkan yaitu Bahasa dan
Sastra Indonesia, maka disiplin ilmu ini terbagai ke dalam ilmu Bahasa Indonesia dan
ilmu Sastra Indonesia. Realisasi dalam pembelajaran baik bahasa maupun sastra
Indonesia diwujudkan dalam bentuk tujuan pembelajaran. Secara spesifik, tujuan
tersebut mengarah kepada keterampilan berbahasa yaitu: berbicara, menyimak,
membaca, dan menulis.
Perwujudan aktivitas dalam pembelajaran Sastra Indonesia dengan kompetensi
membaca, salah satunya melalui membaca puisi. Bagi siswa itu sendiri serta bagi
guru pengajar, mengumandangkan puisi seharusnya bukan hal asing atau sesuatu
yang baru dikenal. Bila kita merujuk kepada panduan pembelajaran yaitu kurikulum,
materi puisi telah tertera sejak kurikulum SD, SMP, hingga SMA. Dengan demikian,
seharusnya para pelajar dan para pengajar sudah akrab dengan membaca puisi dan
mengapresiasinya.
Kenyataan di lapangan berbicara berbeda. Setiap penulis menginformasikan bahwa
pembelajaran yang akan berlangsung yaitu dengan membaca puisi, selalu disambut
oleh siswa dengan reaksi nada kaget dan takut. Gugup berlebihan juga kadang
terpancar dari wajah mereka. Dengan mengawali pembacaan puisi oleh guru, strategi
yang biasanya penulis terapkan untuk mengendurkan ketegangan tersebut. Setelah
itu, bujuk rayu ekstra yang dibutuhkan untuk bisa sekadar menampilkan satu dua
orang siswa membaca puisi.
Menanggapi peristiwa ganjil sekaligus menggelikan (prihatin), penulis sempat
menanyakan kepada siswa akan sebab-sebab hal itu terjadi. Beberapa siswa
menjawab bahwa mereka sendiri tak mengetahui persis sebabnya. Diantara mereka
ada yang mengungkapkan bahwa membaca puisi itu lebih sulit dari belajar
matematika (mudah-mudahan cuma seloroh belaka). Jadi, alasan mereka enggan
membaca puisi karena membaca puisi itu merupakan pekerjaan yang sangat sulit.
Bila membaca puisi dianggap sebagai pekerjaan yang tidak mudah, lalu apa sih
sebenarnya puisi itu? Dunton lewat Pradopo (6 : 2005) berpendapat bahwa puisi
merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional
serta berirama. Senada dengan pendapat Dunton, Pradopo memberikan pengertian
bahwa puisi merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang
penting, digubah dalam bentuk yang paling berkesan (7 : 2005).
Lalu, adakah keterkaitan antara anggapan sulit dalam membaca puisi dengan hakikat
puisi itu sendiri? Bila kita merujuk kepada kedua definisi di atas, ternyata puisi
merupakan wujud pemikiran dan pengalaman manusia yang disuguhkan dengan
bahasa yang indah. Mungkinkah kesulitan yang muncul terletak pada perbedaan
arah pemikiran antara penulis puisi dan pembaca? Atau barangkali perbedaan itu
terletak pada pemahaman terhadap untaian kata-kata indah dalam puisi?
Keraguan pembaca terhadap penafsiran makna puisi yang akan dibaca, bisa jadi
menghambat kepercayaan diri untuk bisa menyuguhkan performance yang
seharusnya. Atau, bila menemukan diksi yang tak dapat dijangkau oleh pemahaman,
hal itu juga sepertinya akan berpengaruh terhadap kesiapan seseorang untuk
mengumandangkan puisi. Semua pembaca puisi sepertinya mengetahui bahwa
berpuisi asal bunyi atau asal bersuara akan menghilangkan cita rasa puisi itu sendiri.
Dengan kata lain, membaca puisi senantiasa harus berusaha menangkap dan
menyampaikan pesan yang terlebur dalam bait-bait itu.
Sepertinya itulah dilema yang selalu bergelayut pada pembelajaran apresiasi puisi
khususnya pada tampilan membacanya. Meskipun tidak menutup kemungkinan
bahwa faktor kurang akrab, kurang bersahabat, dan kurang dekat dengan puisi, juga
bisa menjadi faktor pemicu keengganan tadi. Yang pasti, apa pun faktor yang dinilai
sebagai aral, harus dijadikan sebagai bahan pemikiran bersama untuk dicarikan jalan
keluarnya.
Individu yang paling berpengaruh dalam menyikapi kenyataan yang terurai di atas,
tentunya para guru pengajar Sastra Indonesia. Sangat disayangkan bila menghadapi
dilema tersebut disambut dengan antipati. Bila guru sastra tidak berupaya
memperbaiki keadaan, maka tinggal menunggu, siswa akan menganggap barang
aneh terhadap membaca puisi. Jadi, penulis berharap kepada rekan-rekan pengajar
sastra, jangan pernah menyerah menghadapi kenyataan ini. Terus mencoba dan
mencoba lagi untuk mengikis pandangan siswa terhadap membaca puisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar