Kamis, 09 April 2009

CERPEN Mata Rantai

CERPEN
Mata Rantai


Dingin menusuk kulit yang membalut tubuh ramping dara belia. Merasuk hingga membekukan sumsum tulang. Dengan mata terkatup, Alinda menggapai-gapai selimut tidurnya yang tersingkap. Seakan terbius candu, gadis berlesung pipi ini enggan mengakhiri tidurnya. Barangkali belaian tangan setan sedang menaburkan kehangatan, hingga beduk subuh tak punya makna di telinganya. Mojang berambut punk rock itu masih juga menyambung kantuknya.
Pukul 5.30 dini hari. Nyonya rumah yang biasa dipanggil Bu Jono oleh karyawan kantor suaminya, bergegas mengunjungi putri cantiknya. Sambil mengetuk pintu, “Lin, Linda…, bangun sayang, nanti sekolah kesiangan.” Sang empunya kamar belum juga bergeming. Akhirnya, Bunda, demikian putrinya memanggil, membuka pintu dan menerobos masuk menemui sang putri manjanya. Diusapnya kepala sang gadis tersayang. “Bangun dong, lihat ke jam dinding.” Tangan Bunda merabah dan menekan stop kontak. Byar! Kamar yang cukup eksentrik dengan pernak-pernik serba berwarna pink, kini terang-benderang. Linda membalikkan tubuhnya ke arah jam dinding. “Sorry Bunda, tidurnya enak banget,” sambil menguap seenaknya dan menyingkapkan selimut tebalnya. “Itu karena kamu terlalu capek dengan basketmu. Ya sudah, sekarang cepat bangun dan ambil air wudu, solat ya?” Dengan langkah sedikit sempoyongan, gadis yang tak pernah membereskan tempat tidurnya itu, menuju kamar mandi yang melengkapi fasilitas kamar tidurnya.
Pagi itu, nama Alinda menghiasi daftar nama siswa terlambat di SMA Pelita Jaya. Padahal rumah dan sekolahnya sama-sama bernaung di kawasan berhawa sejuk, Lembang Bandung. Tiga kilometer jarak yang memisahkan antara SMA swasta favorit itu dengan rumah Alinda. Soal transportasi, mobil dan sopir pribadinya siap mengantarkan ke mana ia mau. Rute menuju tempat belajarnya, bukan jalur yang kerap terjebak kemacetan. Sulit rasanya bila melimpahkan alasan keterlambatan bukan karena kesalahan diri sendiri.
Kiprahnya sebagai pelajar yang menginjak tahun ke tiga belum ada hal yang tercatat membanggakan. Entahlah, angin apa yang menggiringnya hingga ia nongkrong sebagai penghuni jurusan IPA. Menjalani hidup keseharian dilalui dengan begitu ringan, tanpa beban, dan kadang-kadang kurang bertanggung jawab. Kebohongan juga tercatat sebagai ladang bisnisnya. Mungkinkah itu terjadi dari serba terpenuhinya apa yang ia inginkan?
Seusai jam belajar sekolah, dara yang terbilang berkelas ekonomi jet set itu sedang asyik dengan hand phone. Rimbunnya bunga sepatu di sudut taman sekolah sangat cocok dijadikan tempat mangkal. Sebongkah batu besar, tambah mengukuhkan bahwa di situ memang sangat tepat untuk melepas lelah atau sekadar untuk menyendiri. Sepuluh meter dari tempat itu dengan jelas terlihat siapa yang lewat di depan sana. Sebelah kanan dilengkapi dengan kolam kecil berair jernih dengan beberapa ikan hias. Bunga flamboyan yang berserakan tertiup angin menambah maraknya tempat ngaso itu. Tak salah bila si lesung pipi, Linda, menjatuhkan pilihan terhadap area itu untuk mengungkapkan kata hati lewat telepon genggamnya.
“Halo, Bunda, Linda hari ini mungkin pulang sorean, ada tugas Kimia yang mesti dikerjakan bersama, bolehkan Bun?” Begitu lihai ia mengobral rayuan mautnya. “Ya boleh, asal kalau sudah kelar, cepet pulang, sayang,” timpal sang bunda. “Beres, see you Mom,” raut muka Alinda mengulum senyum kesuksesan akan kebohongan yang direncanakan. “Bel…Bella, sini cepat,” jeritnya sambil melambaikan tangan kepada teman sebangkunya yang melintas di depan. Bella menghentikan langkahnya dan mendekati seseorang yang memanggil. Diraihnya jemari Bella. Bella pasrah mengikuti kemauan cewek jutek itu. “Bel, aku mau jalan sama Romano. Kalau Bunda telepon Loh, bilang saja tidak sekelompok denganku. Aku tadi bilang ke Bunda mau kerja kelompok Kimia. Please baby please, help me.” “Kok kamu selalu saja menyalahgunakan kepercayaan bundamu, kapan sih mau insyaf? Bentar lagi kiamat, Non.” “Sudah deh jangan menceramahiku, tuh lihat Romano menjemput, thank,s ya,” sambil ngeloyor tak mempedulikan saran dari teman karib.

Romano, cowok keren mahasiswa semester dua Fakultas Ekonomi Universitas Taruna Bakti Bandung. Pemuda yang juga hobi basket ini punya tongkrongan di kawasan elit daerah Cipaganti Bandung. Setahun lalu ia kenal Alinda. Asal-muasal pertemuannya, gara-gara mobil sportnya menyerempet sedan mungil milik gadis yang kini sering jalan bareng dengannya. Mengandrungi olah raga basket, juga yang menjadikan Romano kerap bersua dengan Alinda.
Ada beberapa persamaan yang barangkali dapat dijadikan alasan mengapa mereka bisa jadian. Pertama, mereka sama-sama kalangan papan atas, bergelimang harta dan uang. Kedua, dua-duanya basket mania, jadi mereka punya salah satu tema obrolan yang dirasakan sangat nyambung. Ketiga, mereka punya anggapan bahwa hidup ini mudah, hidup ini bak pasar swalayan, kita mau apa, ambil, bayar dengan uang, beres urusan. Mojang dan jejaka kelas atas ini juga sama-sama suka poya-poya, nonton, dan yang sangat bikin gregetan, mereka suka berbohong kepada orang tua.
Sebenarnya Alinda boleh dibilang sangat dekat dengan sang bunda. Akan tetapi, soal hubungannya dengan Romano, tak mau terus terang. Kebohongan demi kebohongan tiap waktu dirajutnya. Mungkin dia beranggapan, moral busuknya akan terus terbungkus hingga batas waktu yang ia mau. Ternyata anggapannya salah besar. Kebusukan yang terkemas rapat itu meledak menebarkan aroma yang tak bersahabat. Surat panggilan orang tua dilayangkan ke rumah Sarjono Jamaludin. Pasalnya, telah tiga hari berturut-turut Alinda mangkir mengikuti pelajaran di kelas. Surat panggilan itu bagaikan bom waktu yang kini meledak di dalam rumah mewah. Ayah dan bunda Alinda sempat bertanda tanya besar, mengapa mereka didaulat untuk bertandang ke sekolah menemui guru Bimbingan Konseling dan wali kelas putri mereka. Setahu mereka, putri cantiknya tak pernah berbuat ulah. Akhirnya suami-istri yang menerapkan saling menyayangi itu memenuhi undangan sekolah. Kecewa luar biasa menampar wajah Bu Jono dan Pak Jon. Tambah lagi, saat itu nama Alinda tercatat pada agenda harian kelas dengan keterangan ‘alpa’.

Sidang rahasia keluarga akhirnya digelar demi memulihkan ketentraman yang mengancam keluarga kaya itu. Kamar tidur utama keluarga Sarjono Jamaludin dipilih sebagai tempat untuk menggelar pertemuan tersebut. Keluarga konglomerat itu sengaja memilih ruang pribadi sebagai tempat konferensi keluarga dengan maksud agar permasalahan ini tidak sampai tercium oleh para pramuwisma.
Alinda yang mengambil tempat duduk berdampingan dengan Bunda, tertunduk sambil meremas-remas ujung kemejanya. Dadanya berdebar kencang. Pandangannya menukik membentur karpet beludru pelapis lantai kamar. Dalam pada itu, Pak Jon, pria keturunan Jawa itu mengawali pembicaraan. “Linda…,” si dara cantik tersentak, namun tetap tertunduk kaku. “Tujuh belas tahun sudah, ayah dan bunda mencurahkan kasih sayang terhadap saliramu, cah ayu.” Pak Jon tersendat untuk melanjutkan apa yang ingin disampaikan. Dengan helaan nafas panjang akhirnya ia dapat menyambungkan hal yang ingin diutarakannya. “Seingatku, ayah dan bunda selalu terbuka dan jujur dalam segala hal. Maka dari itu, kami juga mengharapkan kejujuran darimu, sayang. Kemanakah selama tiga hari itu, sampai-sampai kamu meninggalkan sekolah begitu saja?”
Butiran bening nampak berduyun menyusuri pipi Alinda. Keringat pun menampakkan diri di ujung hidung mancungnya. Namun, masih tetap diam seribu bahasa. “Jawablah sayang, agar kami tenang, katakan dengan jujur apa yang terjadi?” Bu Jono ikut menyambung apa yang telah suaminya kemukakan. Tak kuasa menyaksikan buah hatinya dirundung kepedihan, bunda turut mencucurkan air mata. Suasana mengharu biru menebar seantero kamar mewah itu. Dipeluknya sang putri tercinta. Bukannya tangis yang terhenti, malah suara tangis menjadi-jadi meluncur dari mulut Alinda.
Akhirnya Linda berani membuka mulut sesuai dengan permintaan dari orang-orang yang menyayanginya yaitu jawaban dengan kejujuran. “Saya… saya pergi dengan Romano, Ayah.” “Siapa dia? Teman sekolahmu atau …,” ayah tak meneruskan kalimatnya. “Dia mahasiswa Taruna Bakti,” Linda melengkapi keterangan. “Sepertinya Ayah tak akan melarangmu untuk mengenal teman lawan jenis. Hanya, jangan sampai mengorbankan sekolah. Kamu sudah kenal bagaimana kelurganya? Apakah dari keluarga baik-baik?” Ketegangan agak mereda. “Dia putra Bapak Wardana, Wardana Surya Saputra.” Keterangan yang baru saja dilontarkan Linda, menyulut kembali ketegangan. “Romano, putra Wardana Surya Saputra? Tempat tinggalnya di mana?” Bunda tergesa ingin segera mengetahui kejelasan. Linda bingung luar biasa. Apalagi roman muka ayah bundanya menyuguhkan seolah-olah terdapat rahasia maha akbar di balik nama ayah Romano. “Di Cipaganti.” Jawaban Alinda menjadikan pandangan sang bunda berkunang-kunang. Wanita paruh baya yang masih menampakkan garis-garis kecantikan pada wajahnya itu, terhempas kesadarannya. Alinda histeris memburu sang bunda yang terkulai lemas. Pak Jon tersungkur karena terlalu terburu-buru meraih istrinya.
Kepanikan menggerogoti pendirian laki-laki yang dikenal sangat mencintai istrinya itu. Tanpa sadar ia mengatakan sesuatu yang sebenarnya telah menjadi kesepakan dengan istri tercintanya, untuk tidak dibeberkan kepada Alinda. “Linda… sebenarnya kamu bukan anak kami.” Linda tak begitu yakin akan kalimat yang baru saja didengarnya. Ia mendadak menghentikan tangisnya dengan maksud ingin mendengarkan kembali ucapan ayahnya. Sambil memeluk istrinya, Pak Jon memaparkan rahasia yang telah terpendam selama 17 tahun. “Adik bundamu adalah orang yang melahirkanmu. Bapakmu tak bertanggung jawab atas dirimu. Ibumu entah pergi ke mana.” Linda membuka mulutnya untuk mengalirkan nafasnya yang berlebihan. “Bapakmu…. Singgih Surya Saputra, dia adik dari Wardana Surya Saputra, ayah Romano yang kamu ceritakan.” Pembeberan rahasia oleh Pak Jon disambut raungan menggelegar. Diremasnya kepala dengan kedua tangannya. Tak tahan berada di kursi , Alinda terpuruk di lantai.

Malam hari itu, adalah malam yang terbalut kebisuan. Linda tak menampakkan batang hidungnya di ruang keluarga. Tak ada yang tahu apa yang dilakukan perawan manja itu di kamar tidurnya. Pak Jon dan istrinya saling tak bertegur sapa, tak seperti biasanya. Makanan yang telah disajikan oleh pramuwisma di meja makan utuh tak tersentuh. Hingga malam larut kebisuan itu masih meraja. Pak Jon yang terhantui rasa bersalah, tertidur di sofa tamu. Bunda, yang juga merasakan apa yang dirasakan Alinda, pulas di ruang keluarga.
Kokok ayam menyambut datangnya fajar. Bunda pun membuka mata sembabnya. Pelupuk matanya mewartakan bahwa sekian jam yang silam telah terjadi pertumpahan air mata. Dengan kebugaran yang sedikit memudar, ia memaksakan diri untuk beranjak dari tempat yang bukan diperuntukkan sebagai tempat tidur. Ia ingin mengawali aktivitas hari itu dengan mengunjungi putri cantiknya. Harapan wanita penyabar itu yaitu, hari itu berjalan seperti biasanya seperti yang sudah-sudah. “Linda … sudah siang sayang. Kita solat bersama-sama ya?” Ditunggunya sang putri keluar dari peraduan. Hingga tiga menit ia sabar menanti di balik daun pintu. Bukankah kebiasaan bunda yang satu ini membangunkan langsung si putri manjanya? Dibukanya pintu kamar. Ia terperangah. Jantungnya berdegup keras. Di balik selimut tak ada jasad yang biasanya berlindung kedinginan. Selimut dan tempat tidur itu tertata rapi. Alinda raib dari kamarnya. Alinda meninggalkan orang-orang yang telah membesarkan dan menyayanginya selama 17 tahun. Rupanya dia telah mengetahui bahwa keluarga Surya Saputra tak merestui hubungan bapak dan ibunya, hingga orang yang melahirkannya ke dunia ini entah pergi ke mana. Alinda telah pergi meninggalkan Bu Jono dan Pak Jon, seperti ibunya yang meninggalkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar